Kesempurnaan Yang Seimbang

Balance Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan untuk memberikan presentasi tentang sistem aplikasi baru di ruangan IT Academy. Nahas bagi saya, dalam setengah waktu presentasi tiba-tiba sistem aplikasi baru tersebut mendadak ‘ngadat’ dan tidak bisa dijalankan. Setengah jam, itu lah waktu yang saya habiskan untuk mencari tahu penyebab masalah tersebut walaupun akhirnya masalah tetap tidak terpecahkan.

Sebenarnya, dalam lima menit pertama proses mencari tahu penyebab masalah, sempat terpikirkan bagi saya untuk melakukan restart komputer—dimana kemungkinan besar masalah akan hilang dan aplikasi yang bersangkutan akan berjalan normal kembali. Namun dengan melakukan hal tersebut, saya tidak akan menemukan akar permasalahan. Pada saat itu, saya menghadapi dua pilihan:

  1. Saya tetap mencari akar permasalahan walaupun membutuhkan waktu lama dan pelaksanaan presentasi tertunda, karena masalah ini tidak reproducible dalam arti hampir tidak pernah muncul sehingga ini adalah kesempatan saya untuk menyempurnakan sistem aplikasi yang bersangkutan. Kesempurnaan memang mengorbankan waktu.
  2. Saya melakukan restart agar masalah terselesaikan dan presentasi bisa berjalan kembali, walaupun akar permasalahan tidak bisa dan mungkin tidak pernah akan ditemukan kembali. Yang penting adalah presentasi berjalan dan target tercapai.

Pilihan mana yang saya ambil? Disinilah letak kesombongan saya yang notabene adalah juga manusia biasa. Saya mengambil pilihan pertama dengan sebelumnya memohon maaf kepada peserta presentasi karena presentasi ditunda dan akan di-reschedule di lain hari. Setelah berjam-jam mencari, akar permasalahan tetap tidak bisa ditemukan dan akhirnya saya menyerah kalah pada schedule dan target yang sudah ditetapkan. Saya berpikir pada waktu itu, “kalau saya tidak bisa memberikan 100%, maka 50% adalah lebih baik dari 0%”.

Sejauh ini saya hanya bisa memikirkan empat hal yang sering berlawanan dengan kesempurnaan dan sering bersinggungan dengan kasus-kasus saya, yaitu: waktu, sumber daya, efisiensi, dan target. Saya pernah membayangkan bekerja dalam satu kondisi impian dimana keempat hal tersebut bisa saya adjust sesuai dengan kesempurnaan yang diharapkan. Sebagai contoh, ketika saya dituntut untuk memberikan kesempurnaan dengan waktu yang sedikit serta target dan efisiensi yang tinggi, maka saya hanya perlu menambah sumber daya ke suatu tingkat tertentu sehingga tercapai suatu persamaan dimana sumber daya lebih besar dari waktu plus efisiensi plus target.

Saya teringat teman saya sewaktu kuliah yang selalu mengejar kesempurnaan. Ketika kuliah praktek pembuatan program, dia hampir selalu gagal dan tidak pernah menyelesaikan programnya. Pada saat semua mahasiswa/i lain sudah mengumpulkan tugas dan sesuai target, dia masih berkutat dengan kesempurnaan tetapi masih jauh sekali dari target. Apakah dia gagal sebagai mahasiswa? Apakah dia gagal sebagai manusia? Jawabannya: tergantung sudut pandang dan waktu. Enam bulan kemudian setelah itu, teman saya tersebut mempresentasikan program yang dia buat kepada dewan dosen dan mahasiswa dan kami semua berdecak kagum melihat dan mencoba hasil karyanya. Sebuah mahakarya. Tetapi kejadian itu merupakan malapetaka bagi sebagian mahasiswa/i karena semua program yang sudah dibuat sebelumnya harus diubah dan/atau disempurnakan agar memiliki pola yang sama dengan mahakarya tersebut. Pada saat itu saya sadar, kesempurnaan ternyata memiliki tujuan jangka panjang.

Seperti bisa dilihat pada beberapa kasus di atas, saya atau mungkin pembaca lain sering kali mengalami dilema dimana kita dihadapkan pada dua pilihan yang harus diambil: kesempurnaan vs. waktu, kesempurnaan vs. sumber daya, kesempurnaan vs. efisiensi, atau kesempurnaan vs. target. Kedua pilihan ini seakan-akan seperti dua sisi mata uang yang saling berlawanan. Harus ada yang dikorbankan jika ingin mendapatkan salah satunya. Dan memang hampir sebagian besar terjadi seperti itu pada kasus-kasus yang saya alami: harus ada pengorbanan.

Mungkin saya kurang cerdas dalam mengambil keputusan. Mungkin saya tidak bisa adil dan seimbang dalam kedua pilihan yang ada. Mungkin saya tidak mengerti kalau kesempurnaan itu bersifat subjektif. Marilah kita terus belajar mencapai kesempurnaan yang seimbang.